SITI KARIMAH
0902884, PGSD 1B
Pendahuluan
Seiring dengan era globalisasi, media hiburan untuk anak – anak saat ini sudah bermacam – macam dan canggih seperti Play Station, Nintendo Wii, PSP, X-Box, dan Televisi. Media hiburan ini bisa berakibat positif maupun negatif untuk anak. Lalu apakah media hiburan cetak seperti buku-buku cerita, dongeng, ensiklopedia akan tergeser oleh media hiburan yang sudah lebih canggih seperti khususnya disini media televisi? Dalam artikel ini penulis akan membahas tentang positif dan negatif dari budaya menonton televisi dan membaca buku, pengaruh pada pola pendidikan anak sehingga dapat berdampak pada perkembangan psikologis anak dan kesehatannya, pengaruh serta peran penting orang tua dalam hal ini, serta penulis disini juga mencoba memberikan beberapa solusinya.
Media televisi di satu sisi banyak memberikan informasi yang menarik dan cukup menghibur tetapi tahukah Anda sebenarnya secara perlahan bahaya yang begitu besar telah mengancam anak-anak. Menurut Akhmad (2008), dari beberapa penelitian didapatkan bahwa anak menonton televisi rata-rata tidak kurang dari 3 jam sehari. Bahkan ada penelitian lain yang mengatakan bahwa anak-anak dalam sehari tidak kurang dari 7 jam waktu yang digunakan untuk menonton televisi. Apa yang mereka dapatkan selama 3-7 jam tersebut? Pelajaran apa saja yang mereka peroleh? Bandingkan apabila waktu 3-7 jam tersebut digunakan untuk membaca buku, mewarnai, menggambar dan lain sebagainya disertai dengan orang tua yang aktif membimbing anaknya. Pelajaran apa saja yang mereka peroleh? Tentu hasilnya akan sangat berbanding terbalik sekali.
Berdiam diri terpaku tidak melakukan apapun di depan televisi, dampak buruk pun dapat terjadi pada kesehatan si anak. Kesehatan psikologisnya, seperti dapat membuat anak bersifat konsumtif, materialistik, hyper active, bahkan hal terburuknya dapat menempatkan orang tua bagai badut. Tidak ada orang tua yang
mau menempatkan dirinya bagai badut, lalu apakah yang harus dilakukan oleh orang tua? Apa peran aktif orang tua dalam hal ini? Didapat dari beberapa sumber yang penulis himpun, penulis akan memberikan beberapa solusi yang dapat merubah kebiasaan anak menonton televisi, salah satunya yaitu dengan membudayakan membaca sejak dini.
Setelah membaca artikel ini diharapkan para pembaca bisa mengambil makna serta hikmah dari baik dan buruknya menonton televisi serta dapat mencoba mempraktikkan beberapa solusi, salah satunya yaitu sesuai dengan tema yang penulis ambil yakni membuat anak lebih menyukai membaca buku daripada menonton televisi.
Isi
Di zaman modern, banyak anak mengisi kekosongan waktunya dengan menonton televisi. Kesibukan orang tua dan sedikitnya waktu yang ada untuk mendampingi serta mengawasi anak merupakan faktor utama. Menurut artikel yang penulis baca di website, hasil penelitian terbaru di Inggris yang dilakukan oleh Children Society menunjukkan bahwa terlalu banyak menonton televisi mendidik anak-anak menjadi materialistik, dan berakibat pada memburuknya hubungan mereka dengan orang tua dan kesehatannya. Hasil survey dari penelitian yang dilakukan di Inggris tersebut menunjukkan bahwa anak-anak menjadi bagian dari bentuk baru konsumerisme. Tercatat anak-anak berusia di bawah 16 tahun membelanjakan 3 miliar poundsterling atau setara Rp. 50 triliun uang mereka setiap tahun untuk membeli pakaian, snack, musik, video games, dan majalah. Laporan ini mengklaim beberapa pengiklan secara eksplisit mengeksploitasi mekanisme tekanan peer group, sementara menempatkan orangtua bagai badut. Bahkan dalam bentuk ekstrim, iklan mempersuasi anak-anak dengan persepsi, “kamu adalah apa yang kamu punya”. Dengan tambahan paparan informasi yang terus menerus melalui para selebritis di TV, sinetron, dan reality show menimbulkan dampak yang merusak.
“Anak-anak hari ini tahu dengan detil apa yang terjadi dalam kehidupan pribadi para selebriti yang lebih kaya dan cantik dari mereka. Tayangan-tayangan ini tak bisa dianggap sepele, karena berdampak meningkatkan aspirasi dan menurunkan kepercayaan diri anak.” kata laporan ini seperti dikutip harian Telegraph Inggris..
Iklan yang menayangkan selebriti mendorong anak untuk menjadi eksesif dalam mengejar kekayaan dan kecantikan. Anak merupakan peniru ulung, sehingga ketika si anak hendak mengikuti gaya selebriti tersebut namun tidak mampu maka akan menimbulkan kekesalan sehingga dapat berujung pemberontakan dan juga membuat anak menjadi tidak percaya diri. Media yang mendorong konsumerisme juga berdampak negatif pada kesehatan anak-anak. Anak belum mengetahui apakah makanan tersebut bergizi atau tidak, sehingga anak pun akan membeli makanan yang ia lihat di iklan- iklan yang belum tentu sehat untuk dikonsumsi.
Anak merupakan peniru ulung yang menangkap, mengolah dan meniru semua hal yang dia lihat. Karena pada masa ini anak – anak cenderung ingin lebih mengetahui lingkungan sekitarnya sehingga apa yang dilihatnya terutama hal baru akan ditirunya. Sehinnga jika anak – anak dididik oleh televisi maka akan berdampak buruk bagi anak. Seperti pendapat Eko Rini Kuntowati S. Psi, konsultan anak dan keluarga, yang dikemukakannya dalam suatu artikel di suatu majalah apad tahun 2007, menurutnya anak harus dirangsang untuk sering bergerak. Sedangkan ketika anak terpaku di depan televisi, anak hanya melakukan gerak gerik yang terbatas, sehingga jaringan – jaringan syaraf menjadi tidak terkoordinasi. Hal itu dapat berakibat pada terhambatnya kecerdasan otak. Selain itu anak adalah peniru ulung, dia akan mencontoh apa yang dilihatnya dari televisi. Bahkan gambar – gambar bercahaya yang tiba – tiba muncul dan berubah membuat otak cepat lelah dan terasa berat. Hal ini mengharuskan orangtua mencari alternatif yang lebih baik lagi.
Menurut observasi, salah satu alternatif lain yaitu dengan membiasakan anak untuk membaca sejak dari usia dini. ”Untuk mempersiapkan anak berusia 3 atau 4 tahun (usia prasekolah) menjadi seorang pembaca yang andal adalah dengan membacakan cerita setiap saat” (Mary, 1997). Dengan membaca anak akan lebih terlatih baca cepat, kreatif mencari tahu suatu hal, kritis, imajinatif, menambah pengetahuan dan juga lebih edukatif. Dengan membaca, rasa ingin tahu anak akan lebih besar sehingga anak akan bergerak mencari tahu dan membuktikan kebenaran dari pengetahuan yang ia dapatkan dari membaca tersebut. Hal ini sungguh berbanding sangat jauh dengan menonton. Anak akan malas bergerak membuktikan hal yang ingin diketahuinya karena sudah ada di televisi yang diperagakan oleh modelnya.
Kirana (2009) memandang bahwa peran aktif orang tua dalam membiasakan alternatif ini sangatlah penting, sebagaimana dikemukakannya bahwa ”Anak akan merasa senang kalau orang tuanya ikut memberi perhatian terhadap buku yang dibacanya. Inilah kunci untuk menolong anak memiliki kebiasaan membaca.” Karena dalam hal ini anak terutama pada usia prasekolah masih sangat perlu bimbingan orang tua terlebih untuk membaca. Seperti misalnya dengan memperkenalkan buku – buku cerita bergambar, dengan warna- warna yang menarik sehingga membuat anak lebih tertarik lagi untuk mengetahui jalan ceritanya. Terkadang walaupun si anak belum bisa membaca, dia akan bercerita sendiri, berimajinasi mengarang cerita yang dilihatnya di buku tersebut. Disini kekreatifan orang tua sangat dibutuhkan, seperti membuat ruang khusus untuk si anak membaca buku dengan dilengkapi buku – buku yang bagus dan edukatif serta sarana lainnya yang bisa membuat rasa keingintahuan si anak dapat terpecahkan serta nyaman yang ditata sedemikian menariknya sehingga anak tidak bosan. Orang tua pun ikut terjun dalam dunianya ketika itu, sehingga hal ini dapat memperdekat hubungan antara anak dan orang tuanya.
Sama halnya peran guru di sekolah, yaitu semakin meningkatkan minat anak untuk membaca. Salah satunya dengan mengembangkan si anak dengan buku – buku nonfiksi, sebagaimana dikemukakan oleh Mary (1997) bahwa ”Saat anak-anak semakin baik dalam membaca, guru dapat mengembangkan mereka dengan buku anak-anak nonfiksi yang bervariasi.” Hal lainnya yang dapat dilakukan yaitu dengan memberikan tugas yang mengharuskan anak membaca buku. Sehingga anak akan lebih semangat lagi untuk membaca karena merasa dapat dukungan dari orang – orang yang ia sayangi dan yang dipercayakan. Maka televisi pun akan sama tidak menariknya dengan mainan yang sudah rusak.
Jadi, solusi yang bisa diberikan oleh penulis, yang penulis himpun dari beberapa sumber di internet yaitu diantaranya:
1. Mulailah sekarang juga
Tontonan TV yang dapat merusak moral anak dapat diubah hanya dengan menggantikannya dengan berbagai kebiasaan baru di luar menonton TV.
2. Sehari tanpa TV
Diskusikan bersama keluarga untuk memilih satu hari tanpa TV.Tentukan kegiatan penggantinya.
3. Jangan jadikan TV sebagai "babysitter"
TV tidak dapat menanggapi tangisan anak atau mengetahui apa anak ketakutan atau tidak; atau mengingatkan acara yang ditayangkan hanya untuk orang dewasa.
4. Cari kegiatan lain
Menonton TV memang menyenangkan, begitu juga dengan mengisi TTS, bermain kartu, scrabble atau monopoli.
5. Bacakan buku
Mulailah membacakan buku untuk anak sejak dini agar dapat membantunya menemukan keajaiban membaca. Anak-anak biasanya senang mendengarkan orangtua mereka membacakan buku, apalagi sebelum tidur.
Penutup
Penutup yang akan penulis sampaikan berupa kesimpulan yang didapat dari artikel ini. Setelah menghimpun data dari beberapa sumber yang membantu penulis menyusun artikel ini, dapat disimpulkan bahwa dampak negatif dari menonton lebih banyak daripada dampak positifnya. Memang media televisi memberikan banyak informasi dan pengetahuan yang cukup dan praktis, hanya melihat tanpa harus lelah membaca. Namun di sisi lain sebenarnya dampaknya akan sangat berbahaya terutama bagi anak – anak. Salah satunya yaitu terlalu banyak menonton televisi mendidik anak-anak menjadi materialistik, dan berakibat pada memburuknya hubungan mereka dengan orang tua dan kesehatannya.
Menonton Televisi juga dapat merusak kesehatan si anak, baik kesehatan jasmaninya maupun psikologisnya. Kesehatan jasmaniah, seperti merusak mata yang terlalu lelah melihat cahaya radiasi dari televisi, konsumerisme untuk membeli produk – produk makanan yang kurang sehat yang dipasarkan di televisi, dan sebagainya. Kesehatan Psikologis, seperti membuat anak menjadi hyper active, malas belajar dan perilakunya pun akan meniru apa yang anak lihat di TV dari yang baik hingga yang buruk. Hal ini perlu disolusikan sejak dini. Membiasakan membaca menjadi salah satu kegiatan yang bisa menggantikannya. Karena buku lebih edukatif, dan bisa membuat anak lebih kreatif, kritis, dan juga dapat mempererat hubungan antara orang tua dan anak. Jika orang tua ingin anaknya gemar membaca, mulailah dari orang tuanya. Karena anak merupakan sang peniru, yang meniru terutama meniru apa yang dilakukan orang yang dia kasihi dan sayangi.
Referensi
Nova. 2008. Menjauhkan Anak dari Pengaruh TV. [online]. Tersedia : http://kesehatan.kompas.com. [27 Oktober 2009]
Akhmad. 2008. Bahaya televisi bagi anak-anak. [online]. Tersedia : http://www.rajawana.com. [27 Oktober 2009]
0902884, PGSD 1B
Pendahuluan
Seiring dengan era globalisasi, media hiburan untuk anak – anak saat ini sudah bermacam – macam dan canggih seperti Play Station, Nintendo Wii, PSP, X-Box, dan Televisi. Media hiburan ini bisa berakibat positif maupun negatif untuk anak. Lalu apakah media hiburan cetak seperti buku-buku cerita, dongeng, ensiklopedia akan tergeser oleh media hiburan yang sudah lebih canggih seperti khususnya disini media televisi? Dalam artikel ini penulis akan membahas tentang positif dan negatif dari budaya menonton televisi dan membaca buku, pengaruh pada pola pendidikan anak sehingga dapat berdampak pada perkembangan psikologis anak dan kesehatannya, pengaruh serta peran penting orang tua dalam hal ini, serta penulis disini juga mencoba memberikan beberapa solusinya.
Media televisi di satu sisi banyak memberikan informasi yang menarik dan cukup menghibur tetapi tahukah Anda sebenarnya secara perlahan bahaya yang begitu besar telah mengancam anak-anak. Menurut Akhmad (2008), dari beberapa penelitian didapatkan bahwa anak menonton televisi rata-rata tidak kurang dari 3 jam sehari. Bahkan ada penelitian lain yang mengatakan bahwa anak-anak dalam sehari tidak kurang dari 7 jam waktu yang digunakan untuk menonton televisi. Apa yang mereka dapatkan selama 3-7 jam tersebut? Pelajaran apa saja yang mereka peroleh? Bandingkan apabila waktu 3-7 jam tersebut digunakan untuk membaca buku, mewarnai, menggambar dan lain sebagainya disertai dengan orang tua yang aktif membimbing anaknya. Pelajaran apa saja yang mereka peroleh? Tentu hasilnya akan sangat berbanding terbalik sekali.
Berdiam diri terpaku tidak melakukan apapun di depan televisi, dampak buruk pun dapat terjadi pada kesehatan si anak. Kesehatan psikologisnya, seperti dapat membuat anak bersifat konsumtif, materialistik, hyper active, bahkan hal terburuknya dapat menempatkan orang tua bagai badut. Tidak ada orang tua yang
mau menempatkan dirinya bagai badut, lalu apakah yang harus dilakukan oleh orang tua? Apa peran aktif orang tua dalam hal ini? Didapat dari beberapa sumber yang penulis himpun, penulis akan memberikan beberapa solusi yang dapat merubah kebiasaan anak menonton televisi, salah satunya yaitu dengan membudayakan membaca sejak dini.
Setelah membaca artikel ini diharapkan para pembaca bisa mengambil makna serta hikmah dari baik dan buruknya menonton televisi serta dapat mencoba mempraktikkan beberapa solusi, salah satunya yaitu sesuai dengan tema yang penulis ambil yakni membuat anak lebih menyukai membaca buku daripada menonton televisi.
Isi
Di zaman modern, banyak anak mengisi kekosongan waktunya dengan menonton televisi. Kesibukan orang tua dan sedikitnya waktu yang ada untuk mendampingi serta mengawasi anak merupakan faktor utama. Menurut artikel yang penulis baca di website, hasil penelitian terbaru di Inggris yang dilakukan oleh Children Society menunjukkan bahwa terlalu banyak menonton televisi mendidik anak-anak menjadi materialistik, dan berakibat pada memburuknya hubungan mereka dengan orang tua dan kesehatannya. Hasil survey dari penelitian yang dilakukan di Inggris tersebut menunjukkan bahwa anak-anak menjadi bagian dari bentuk baru konsumerisme. Tercatat anak-anak berusia di bawah 16 tahun membelanjakan 3 miliar poundsterling atau setara Rp. 50 triliun uang mereka setiap tahun untuk membeli pakaian, snack, musik, video games, dan majalah. Laporan ini mengklaim beberapa pengiklan secara eksplisit mengeksploitasi mekanisme tekanan peer group, sementara menempatkan orangtua bagai badut. Bahkan dalam bentuk ekstrim, iklan mempersuasi anak-anak dengan persepsi, “kamu adalah apa yang kamu punya”. Dengan tambahan paparan informasi yang terus menerus melalui para selebritis di TV, sinetron, dan reality show menimbulkan dampak yang merusak.
“Anak-anak hari ini tahu dengan detil apa yang terjadi dalam kehidupan pribadi para selebriti yang lebih kaya dan cantik dari mereka. Tayangan-tayangan ini tak bisa dianggap sepele, karena berdampak meningkatkan aspirasi dan menurunkan kepercayaan diri anak.” kata laporan ini seperti dikutip harian Telegraph Inggris..
Iklan yang menayangkan selebriti mendorong anak untuk menjadi eksesif dalam mengejar kekayaan dan kecantikan. Anak merupakan peniru ulung, sehingga ketika si anak hendak mengikuti gaya selebriti tersebut namun tidak mampu maka akan menimbulkan kekesalan sehingga dapat berujung pemberontakan dan juga membuat anak menjadi tidak percaya diri. Media yang mendorong konsumerisme juga berdampak negatif pada kesehatan anak-anak. Anak belum mengetahui apakah makanan tersebut bergizi atau tidak, sehingga anak pun akan membeli makanan yang ia lihat di iklan- iklan yang belum tentu sehat untuk dikonsumsi.
Anak merupakan peniru ulung yang menangkap, mengolah dan meniru semua hal yang dia lihat. Karena pada masa ini anak – anak cenderung ingin lebih mengetahui lingkungan sekitarnya sehingga apa yang dilihatnya terutama hal baru akan ditirunya. Sehinnga jika anak – anak dididik oleh televisi maka akan berdampak buruk bagi anak. Seperti pendapat Eko Rini Kuntowati S. Psi, konsultan anak dan keluarga, yang dikemukakannya dalam suatu artikel di suatu majalah apad tahun 2007, menurutnya anak harus dirangsang untuk sering bergerak. Sedangkan ketika anak terpaku di depan televisi, anak hanya melakukan gerak gerik yang terbatas, sehingga jaringan – jaringan syaraf menjadi tidak terkoordinasi. Hal itu dapat berakibat pada terhambatnya kecerdasan otak. Selain itu anak adalah peniru ulung, dia akan mencontoh apa yang dilihatnya dari televisi. Bahkan gambar – gambar bercahaya yang tiba – tiba muncul dan berubah membuat otak cepat lelah dan terasa berat. Hal ini mengharuskan orangtua mencari alternatif yang lebih baik lagi.
Menurut observasi, salah satu alternatif lain yaitu dengan membiasakan anak untuk membaca sejak dari usia dini. ”Untuk mempersiapkan anak berusia 3 atau 4 tahun (usia prasekolah) menjadi seorang pembaca yang andal adalah dengan membacakan cerita setiap saat” (Mary, 1997). Dengan membaca anak akan lebih terlatih baca cepat, kreatif mencari tahu suatu hal, kritis, imajinatif, menambah pengetahuan dan juga lebih edukatif. Dengan membaca, rasa ingin tahu anak akan lebih besar sehingga anak akan bergerak mencari tahu dan membuktikan kebenaran dari pengetahuan yang ia dapatkan dari membaca tersebut. Hal ini sungguh berbanding sangat jauh dengan menonton. Anak akan malas bergerak membuktikan hal yang ingin diketahuinya karena sudah ada di televisi yang diperagakan oleh modelnya.
Kirana (2009) memandang bahwa peran aktif orang tua dalam membiasakan alternatif ini sangatlah penting, sebagaimana dikemukakannya bahwa ”Anak akan merasa senang kalau orang tuanya ikut memberi perhatian terhadap buku yang dibacanya. Inilah kunci untuk menolong anak memiliki kebiasaan membaca.” Karena dalam hal ini anak terutama pada usia prasekolah masih sangat perlu bimbingan orang tua terlebih untuk membaca. Seperti misalnya dengan memperkenalkan buku – buku cerita bergambar, dengan warna- warna yang menarik sehingga membuat anak lebih tertarik lagi untuk mengetahui jalan ceritanya. Terkadang walaupun si anak belum bisa membaca, dia akan bercerita sendiri, berimajinasi mengarang cerita yang dilihatnya di buku tersebut. Disini kekreatifan orang tua sangat dibutuhkan, seperti membuat ruang khusus untuk si anak membaca buku dengan dilengkapi buku – buku yang bagus dan edukatif serta sarana lainnya yang bisa membuat rasa keingintahuan si anak dapat terpecahkan serta nyaman yang ditata sedemikian menariknya sehingga anak tidak bosan. Orang tua pun ikut terjun dalam dunianya ketika itu, sehingga hal ini dapat memperdekat hubungan antara anak dan orang tuanya.
Sama halnya peran guru di sekolah, yaitu semakin meningkatkan minat anak untuk membaca. Salah satunya dengan mengembangkan si anak dengan buku – buku nonfiksi, sebagaimana dikemukakan oleh Mary (1997) bahwa ”Saat anak-anak semakin baik dalam membaca, guru dapat mengembangkan mereka dengan buku anak-anak nonfiksi yang bervariasi.” Hal lainnya yang dapat dilakukan yaitu dengan memberikan tugas yang mengharuskan anak membaca buku. Sehingga anak akan lebih semangat lagi untuk membaca karena merasa dapat dukungan dari orang – orang yang ia sayangi dan yang dipercayakan. Maka televisi pun akan sama tidak menariknya dengan mainan yang sudah rusak.
Jadi, solusi yang bisa diberikan oleh penulis, yang penulis himpun dari beberapa sumber di internet yaitu diantaranya:
1. Mulailah sekarang juga
Tontonan TV yang dapat merusak moral anak dapat diubah hanya dengan menggantikannya dengan berbagai kebiasaan baru di luar menonton TV.
2. Sehari tanpa TV
Diskusikan bersama keluarga untuk memilih satu hari tanpa TV.Tentukan kegiatan penggantinya.
3. Jangan jadikan TV sebagai "babysitter"
TV tidak dapat menanggapi tangisan anak atau mengetahui apa anak ketakutan atau tidak; atau mengingatkan acara yang ditayangkan hanya untuk orang dewasa.
4. Cari kegiatan lain
Menonton TV memang menyenangkan, begitu juga dengan mengisi TTS, bermain kartu, scrabble atau monopoli.
5. Bacakan buku
Mulailah membacakan buku untuk anak sejak dini agar dapat membantunya menemukan keajaiban membaca. Anak-anak biasanya senang mendengarkan orangtua mereka membacakan buku, apalagi sebelum tidur.
Penutup
Penutup yang akan penulis sampaikan berupa kesimpulan yang didapat dari artikel ini. Setelah menghimpun data dari beberapa sumber yang membantu penulis menyusun artikel ini, dapat disimpulkan bahwa dampak negatif dari menonton lebih banyak daripada dampak positifnya. Memang media televisi memberikan banyak informasi dan pengetahuan yang cukup dan praktis, hanya melihat tanpa harus lelah membaca. Namun di sisi lain sebenarnya dampaknya akan sangat berbahaya terutama bagi anak – anak. Salah satunya yaitu terlalu banyak menonton televisi mendidik anak-anak menjadi materialistik, dan berakibat pada memburuknya hubungan mereka dengan orang tua dan kesehatannya.
Menonton Televisi juga dapat merusak kesehatan si anak, baik kesehatan jasmaninya maupun psikologisnya. Kesehatan jasmaniah, seperti merusak mata yang terlalu lelah melihat cahaya radiasi dari televisi, konsumerisme untuk membeli produk – produk makanan yang kurang sehat yang dipasarkan di televisi, dan sebagainya. Kesehatan Psikologis, seperti membuat anak menjadi hyper active, malas belajar dan perilakunya pun akan meniru apa yang anak lihat di TV dari yang baik hingga yang buruk. Hal ini perlu disolusikan sejak dini. Membiasakan membaca menjadi salah satu kegiatan yang bisa menggantikannya. Karena buku lebih edukatif, dan bisa membuat anak lebih kreatif, kritis, dan juga dapat mempererat hubungan antara orang tua dan anak. Jika orang tua ingin anaknya gemar membaca, mulailah dari orang tuanya. Karena anak merupakan sang peniru, yang meniru terutama meniru apa yang dilakukan orang yang dia kasihi dan sayangi.
Referensi
Nova. 2008. Menjauhkan Anak dari Pengaruh TV. [online]. Tersedia : http://kesehatan.kompas.com. [27 Oktober 2009]
Akhmad. 2008. Bahaya televisi bagi anak-anak. [online]. Tersedia : http://www.rajawana.com. [27 Oktober 2009]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar