Selasa, 29 Desember 2009

Keluarga sebagai Motivasi Belajar

Ani Fitriani
0902942, PGSD 1 B

“Pada umumnya suatu motivasi atau dorongan adalah suatu pernyataan yang kompleks di dalam suatu organisme yang mengarahkan tingkah laku terhadap suatu tujuan, dan perangsang (incentive). Tujuan adalah yang menentukan dan membatasi tingkah laku organisme itu” ( Imam Syafi’i).

Keluarga adalah hubungan persaudaraan yang mempunyai hubungan darah yang terdiri atas ayah ,ibu dan anak. Kita dilahirkan oleh sebuah keluarga. Keluarga merupakan lingkungan awal yang membentuk jati diri atau kepribadian seseorang. Sejak kecil kita dididik oleh keluarga kita. Keluarga sangat penting bagi kita karena di keluarga kita akan mendapatkan kebahagiaan dan kenyamanan. Bagi kita keluarga adalah segalanya,tanpa keluarga mungkin kita tidak ada di dunia ini.


Tugas memotivasi belajar bukan hanya tanggungjawab guru semata, tetapi orang tua juga berkewajiban memotivasi anak untuk lebih giat belajar. Selain itu motivasi sosial dapat timbul dari orang-orang lain di sekitar siswa, seperti dari tetangga, sanak saudara, atau teman bermain. Fungsi keluarga adalah sebagai motivasi utama bagi peserta didik, karena memiliki intensitas yang lebih tingi untuk menanamkan motif-motif tertentu bagi proses pembelajaran anak.


Hal paling mendasar yang digunakan sebagai motivasi dasar dalam islam adalah, pentingnya menanamkan unsur-unsur ideologi dalam proses pembelajaran, sehingga dalam proses perjalanan pembelajaran siswa tidak mengalami kegoncangan jiwa yang bisa menghambat hasil dari pendidikan itu sendiri.


Pada umumnya kita menginginkan suasana damai,ceria dalam kehidupan keluarga. Suasana demikian perlu diupayakan oleh orangtua sebagai motivator terhadap perilaku anggota keluarga.Kebiasaan komunikasi yang tidak sehat dapat mengakibatkan kedamaian tidak akan pernah dicapai seperti mengeluarkan nada suara yang kasar,mata melotot dan jawaban kasar yang tidak pantas.Di sadari ataupun tidak, ternyata tradisi keluarga ikut memegang peranan penting dalam pembentukan watak anak. Bila tradisi itu dapat memberi pengaruh positif terhadap perkembangan mental seorang anak, maka hasil perkembangan itu akan bersifat positif. Tetapi sebaliknya, bila negatif, maka hasilnya pun negatif.

Ada anak yang mampu melepaskan segala pengaruh negatif dari lingkungan keluarga, tempat ia dibesarkan, setelah menjadi dewasa. Si anak, setelah dewasa, sadar bahwa ia harus berubah. Karena itu, ia terus belajar untuk berubah walaupun itu seringkali sulit dan memerlukan pengorbanan waktu dan perasaan yang tidak sedikit. Tidak sedikit pula yang terus terbelenggu olehnya dan membutuhkan waktu yang sangat lama dan bahkan seringkali gagal dalam usahanya untuk berubah. Hal ini disebabkan oleh pengaruh yang sangat kuat dari lingkungan keluarga, tempat ia tumbuh sebelumnya dan kurangnya motivasi, baik dari dalam maupun dari luar dirinya untuk berubah.

Di dalam keadaan yang normal, lingkungan pertama yang berhubungan dengan anak adalah orang tuanya, saudar-saudaranya yang lebih tua, serta mungkin kerabat dekatnya yang tinggal serumah. Melalui lingkungan itulah si anak mengenal dunia sekitarnya dan pola pergaulan hidup yang berlaku sehari-hari. Melalui lingkunagan itulah anak mengalami proses sosialisasi awal. Orang tua, saudara, maupun kerabat terdekat lazimnya mencurahkan perhatianya untuk mendidik anak supaya anak memperoleh dasar-dasar pola pergaulan hidup yang benar dan baik, melalui penanaman disiplin dan kebebasan serta penyerasiannya. Pada saat ini orang tua, saudara maupun kerabat melakukan sosialisasi yang biasa diterapkan melalui kasih sayang. Atas dasar kasih sayang itu anak dididik untuk mengenal nilai-nilai tertantu, seperti nilai ketertiban dan ketentraman, nilai kebendaan dan keahlakan, nilai keserasian dan kebaruan, dan seterusnya.

Pada nilai ketertiban dan ketentraman ditanamkan prilaku disipliner dan perilaku bebas yang senantiasa harus diserasikan. Umpamanya sianak yang lapar boleh makan dan minum sampai kenyang, tetapi pada waktu-waktu tertentu anak boleh bermain ssepuas-puasnya, tetapi dia harus berhenti bermain apabila waktu makan telah tiba. Nilai ditanaamkan dengan jalan membelikan mainan yang diinginkannya, tetapi mainan itu harus dipelihara baik-baik agar tidak cepat rusak. Kalau mainan itu ia rusak, orang tua harus dapat menahan diri untuk segera membelikan mainan yang baru. Melalui cara-cara itu pula nilai kelestarian dan kebaruan dapat ditanamkan melalui prilaku teladan yang sederhana.

Apabila usia anak meningkat ke umur remaja, penanaman nilai-nilai tersebut diatas harus tetap dipertahankan, tetapi dengan cara- cara lain, sesuai dengan pertumbuhan jiwa remaja tersebut. Secara psikologis usia remaja merupakan umur yang dianggap “gawat”, karena yang bersangkutan sedang mencari identitasnya. Untuk itu, harus tesedia tokoh-tokoh ideal yang pola prilakunya terpuji. Pertama-tama, ia akan berpaling pada lingkungan yang terdekat dengannya,yakni orang tua, saudara-saudaranya, dan mungkin juga kerabat dekatnya. Apabila idealismenya tidak terpenuhi oleh lingkungan terdekatnya, dia akan berpaling ke lingkungan lain yang belum tentu benar dan baik. Oleh karena itu, lingkungan terdekat senantiasa harus siap untuk membantu sang remaja. Remaja lebih banyak memerlukan pengertian daripada sekedar pengetahuan saja, dia harus mengerti mengapa manusia tidak boleh terlalu bebas dan juga tidak boleh terlalu terikat. Memang, orang tua kadang-kadang lebih mementingkan disiplin atau keterikatan daripada kebebasan, sedangkan remaja lebih menyukai kebebasan daripada disiplin atau keterikatan. Namun, manusia memerlukan keduanya dalam keadaan yang serasi, manusia yang terlalu disiplin hanya akan menjadi robot yang mati daya kreativitasnya, sedangkan manusia yang terlalu bebas akan menjadi mahluk lain yang bukan manusia.

Tumbuhnya motivasi dan keberhasilan studi justru ditunjang oleh keserasian-keserasian tersebut diatas. Kalau pada anak, orang tualah yang harus menanamkan agar si anak berpengetahuan, sedangkan pada remaja orang tua harus memberikan pengertian melalui cara-cara yang dewasa. Anak atau remaja yang diharuskan belajar terus menerus atau dibebani dengan kewajiban mengikuti pelajaran tambahan atau ketrampilan tertentu akan tetapi mengakibatkan kebosanan, sehingga pekerjaan tersebut dianggapnya sebagai kegiatan rutin belaka. Dia tidak sempat mengenyam kebebasan berpikir karena selalu dibebani dengan keterikatan, dimana orang tua senantiasa memegang peranan yang menentukan didalam mengambil keputusan-keputusan. Anak atau remaja tersebut hanya dilatih untuk berpikir semata-mata, tanpa mendidiknya untuk senantiasa menyerasikan pikiran dengan perasaan.

Membiarkan anak atau remaja bersikap tindak semaunya juga buruk dan tidak benar. Mereka memerlukan tuntunan orang tua, saudara-saudarnya maupun kerabat dekatnya tetapi tuntunan itu tidak diperolehnya. Lingkungan yang berpola pikiran demikian juga tidak menghasilkan pengaruh yang menunjang tumbuhnya motivasi dan keberhasilan studi karena dilepas begitu saja. Kritik pada remaja biasanya tertuju pada hal-hal sebagai berikut:

Orang tua terlalu, konservatif, atau terlalu liberal.

Orang tua hanya memberikan nasihat, tanpa memberikan contoh yang mendukung nasihat tersebut.

Orang tua terlalu mementingkan pekerjaan kantor, organisasi, dan lain sebagainya.

Orang tua mengutamakan pemenuhan kebutuhan material belaka.

Orang tua lazimnya mau “menangnya” sendiri artinya, tidak mau menyesuaikan diri dengan kebutuhan dasar remaja yang mungkin berbeda.

Suasana keluarga yang positif bagi motivasi dan keberhasilan studi adalah keadaan yang menyebabkan anak atau remaja merasa dirinya aman atau damai bila berada ditengah keluarga tersebut. Suasana tersebut biasanya terganggu apabila :

Tidak ada saling pengertian atau pemahaman mengenai dasar-dasar kehidupan bersama.

Terjadinya konflik mengenai otonomi disatu pihak orang tua ingin agar anaknya dapat mandiri, namun didalam kenyataanya mereka mengekangnya.

Terjadinya konflik niali-nilai yang tidak diserasikan misalnya, kalau nilai kebendaan terlalu menonjol sebaiknya hal itu tidak diganti dengan nilai keahlakan namun diserasikan.

Pengendalian dan pengawasan orang tua yang berlebih-lebihan.

Tidak adanya rasa kebersamaan dalam keluarga.



Terjadinya masalah dalam hubungan antara ayah dengan ibu, sebagai suami dan istri.

Jumlah anak yang banyak yang tidak didukung fasilitas yang memadai.

Campur tangan pihak luar baik kerabat maupun bukan kerabat.

Status social ekonomi yang dibawah standar minimal.

Pekerjaan orang tua misalnya, kedudukan istri lebih tinggi dari suami sehingga penghasilanya juga lebih besar, yang tidak mustahil akan mengakibatkan bahwa suami merasa rendah diri dan menyalurkannya kearah yang negative.

Aspirasi orang tua yang kadang-kadang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.

Konsepsi mengenai peranan keluarga serta anggota keluarga yang meleset dari kenyataan yang ada.

Timbulnya favoritisme dikalangan anggota keluarga.

Pecahnya keluarga karena konflik antara suami dengan istri yang tidak mungkin lagi diatasi.

Persaingan yang sangat tajam antara anak-anak sehingga menimbulkan pertikaian .





Referensi

Soekanto,Soerjono.2006.Sosiologi Suatu Pengantar.Jakarta:PT Raja Grafindo Persada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar