Ziulia Nur Anisa
NIM: 0902930, PGSD I B
Anak usia sekolah tentunya perlu untuk belajar, baik itu dalam pendidikan formal maupun nonformal. Pendidikan formal seperti sekolah sedangkan pendidikan nonformal seperti kursus-kursus. Mereka harus mengulang kembali pelajaran yang telah diberikan di sekolah, mengerjakan pekerjaan rumah ataupun mempelajari hal-hal lain di luar pekerjaan sekolah. Pentingnya belajar tanpa harus dibicarakan panjang lebar tentu sudah disadari oleh seluruh orangtua. Karena dengan belajar ini membuktikan bahwa berhasil atau tidaknya pencapaian tujuan pendidikan itu amat bergantung pada proses belajar yang dialami oleh anak, baik ketika anak sedang berada di lingkungan sekolah, keluarga, maupun masyarakat. Hal itu tidak terlepas dari tugas mereka sebagai anak dan peran orang tua yang harus selalu memperhatikan anaknya ketika mereka sedang belajar.
Namun, setiap anak pasti akan merasa jenuh ketika mereka mendapatkan pekerjaan yang menumpuk dan akan sering banyak bermain daripada melakukan pekerjaannya. Sebagaimana yang telah diungkapakan oleh (Chaplin, 1972: 72), bahwa:
Apabila anak telah kehilangan motivasi serta konsolidasi salah satu tingkat keterampilan tertentu sebelum anak tertentu sampai pada tingkat keterampilan berikutnya, maka anak akan lebih sering bermain daripada melakukan pekerjaannya.
Selain itu, kejenuhan juga dapat sering terjadi karena proses belajar anak yang telah sampai pada batas kemampuan jasmaniahnya karena bosan dan keletihan.
Ironisnya keluhan yang datang dari orangtua pada umumnya yang menyangkut anaknya terlalu banyak bermain daripada orangtua yang anaknya terlalu banyak belajar. Bahkan kalau anak sangat rajin belajar, pastilah orangtua memamerkannya pada orang lain dengan rasa bangga seperti, “Pak, ini loh anak saya itu belajarnya rajin. Pulang sekolah suka langsung mengerjakan pekerjaan rumah, suka membantu orangtuanya padahal dia sangat sibuk sekali, dan dia sangat pintar dari saya karena setiap apa yang saya tidak ketahui, dia selalu tahu loh Pak”. Lain lagi kalimatnya jika anak terlalu banyak bermain, “Duuh Pak, anak saya ini dari pulang sekolah jarang langsung pulang ke rumah. Dia sukanya main terus, gak pagi, siang, dan malam. Saya suka jadi pusing karena setiap kali saya menyuruh dia untuk belajar, harus teriak-teriak, ngasih dia iming-iming biar dia mau belajar, bingung saya jadinya”.
Penyebab kalau anak malas untuk belajar, tentunya perlu dicari tahu sebabnya, baru kemudian diambil suatu tindakan agar anak kembali lagi bersemangat untuk belajar. Di bawah ini beberapa sebab mengapa anak malas untuk belajar, diantaranya sebagai berikut:
1.Kurangnya waktu yang tersedia untuk bermain.
Jadi, anak-anak terkadang lupa waktu untuk belajar apalagi jika mereka sudah tahu dunia luar.
2.Sedang mempunyai masalah.
Misalnya suasana di rumah sedang “tidak stabil” karena salah satu dari anggota keluarga ada yang kecelakaan dan seorang ibu yang mempunyai anak baru, sehingga anak pertama merasa kurang diperhatikan karena kasih sayang ibunya terbagi.
3.Mempunyai permasalahan di sekolah.
Misalnya bertengkar dengan teman sekelas dan diolok-olok teman karena nilai ulangannya jelek.
4.Sedang sakit, sehingga segala sesuatu yang dikerjakan merasa tidak senang.
5.Sedang sedih karena kehilangan sesuatu yang paling disayang.
Misalnya seorang anak mempunyai kucing kesayangan kemudian kucing itu tertabrak motor dan langsung mati di hadapan anak itu, anak tersebut merasa kehilangan sekali karena kucing kesayangannya tidak menemaninya lagi.
Menurut Rama (2007: 25), bahwa malas diartikan sebagai keengganan seseorang untuk melakukan sesuatu yang seharusnya atau sebaiknya dia lakukan. Masuk dalam keluarga besar malas adalah menolak tugas, tidak disiplin, tidak tekun, sungkan, suka menunda sesuatu, mengalihkan diri dari kewajiban.
Kalau anak-anak lebih suka bermain daripada belajar, itu berarti mereka menganggap bahwa belajar tidak penting, kegiatan yang tidak menarik yang hanya menghabiskan waktu untuk berpikir saja, dan mungkin tanpa mereka sadari bahwa belajar dianggap sebagai kegiatan yang tidak ada gunanya karena mereka tidak mendapatkan langsung hasil kegiatan belajar. Berbeda dengan bermain yang jelas-jelas menyenangkan anak karena keuntungannya dapat dirasakan secara langsung, yaitu rasa senang. Contohnya saja ketika anak dituntut untuk mengerjakan 3 butir soal matematika mereka merasa tidak mampu untuk mengerjakannya padahal soal yang diberikan cukup mudah. Berbeda saat anak disuruh untuk bermain ketika orangtuanya sibuk bekerja mereka merasa senang karena mereka tidak mempunyai beban.
Oleh karena itu, sebagai orangtua kita harus membiasakan diri kepada anak untuk selalu berlatih baik dalam bidang akademik maupun nonakademik dan jangan sampai membiasakan anak untuk bermain bersama teman-temannya, sehingga lupa waktu untuk belajar. Maka latihlah anak sedini mungkin agar kelak setelah anak menjadi dewasa, anak akan selalu terus semangat untuk belajar. Karena dengan belajar, kita akan menjadi manusia yang pintar, cerdas, berpotensi, tidak dibodoh-bodohi orang lain sehingga orang-orang akan senang terhadap kita dan dengan belajar kita bisa menumbuh kembangkan potensi yang dimiliki.
Referensi
Anak Malas Belajar. Online. Tersedia: http://www.facebook.com. 28 Oktober 2009.
Malas Musuh Kita. [Online]. Tersedia: http://www.koran.seveners.com. [28 Oktober 2009]
Syah, Muhibbin. 2000. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
NIM: 0902930, PGSD I B
Anak usia sekolah tentunya perlu untuk belajar, baik itu dalam pendidikan formal maupun nonformal. Pendidikan formal seperti sekolah sedangkan pendidikan nonformal seperti kursus-kursus. Mereka harus mengulang kembali pelajaran yang telah diberikan di sekolah, mengerjakan pekerjaan rumah ataupun mempelajari hal-hal lain di luar pekerjaan sekolah. Pentingnya belajar tanpa harus dibicarakan panjang lebar tentu sudah disadari oleh seluruh orangtua. Karena dengan belajar ini membuktikan bahwa berhasil atau tidaknya pencapaian tujuan pendidikan itu amat bergantung pada proses belajar yang dialami oleh anak, baik ketika anak sedang berada di lingkungan sekolah, keluarga, maupun masyarakat. Hal itu tidak terlepas dari tugas mereka sebagai anak dan peran orang tua yang harus selalu memperhatikan anaknya ketika mereka sedang belajar.
Namun, setiap anak pasti akan merasa jenuh ketika mereka mendapatkan pekerjaan yang menumpuk dan akan sering banyak bermain daripada melakukan pekerjaannya. Sebagaimana yang telah diungkapakan oleh (Chaplin, 1972: 72), bahwa:
Apabila anak telah kehilangan motivasi serta konsolidasi salah satu tingkat keterampilan tertentu sebelum anak tertentu sampai pada tingkat keterampilan berikutnya, maka anak akan lebih sering bermain daripada melakukan pekerjaannya.
Selain itu, kejenuhan juga dapat sering terjadi karena proses belajar anak yang telah sampai pada batas kemampuan jasmaniahnya karena bosan dan keletihan.
Ironisnya keluhan yang datang dari orangtua pada umumnya yang menyangkut anaknya terlalu banyak bermain daripada orangtua yang anaknya terlalu banyak belajar. Bahkan kalau anak sangat rajin belajar, pastilah orangtua memamerkannya pada orang lain dengan rasa bangga seperti, “Pak, ini loh anak saya itu belajarnya rajin. Pulang sekolah suka langsung mengerjakan pekerjaan rumah, suka membantu orangtuanya padahal dia sangat sibuk sekali, dan dia sangat pintar dari saya karena setiap apa yang saya tidak ketahui, dia selalu tahu loh Pak”. Lain lagi kalimatnya jika anak terlalu banyak bermain, “Duuh Pak, anak saya ini dari pulang sekolah jarang langsung pulang ke rumah. Dia sukanya main terus, gak pagi, siang, dan malam. Saya suka jadi pusing karena setiap kali saya menyuruh dia untuk belajar, harus teriak-teriak, ngasih dia iming-iming biar dia mau belajar, bingung saya jadinya”.
Penyebab kalau anak malas untuk belajar, tentunya perlu dicari tahu sebabnya, baru kemudian diambil suatu tindakan agar anak kembali lagi bersemangat untuk belajar. Di bawah ini beberapa sebab mengapa anak malas untuk belajar, diantaranya sebagai berikut:
1.Kurangnya waktu yang tersedia untuk bermain.
Jadi, anak-anak terkadang lupa waktu untuk belajar apalagi jika mereka sudah tahu dunia luar.
2.Sedang mempunyai masalah.
Misalnya suasana di rumah sedang “tidak stabil” karena salah satu dari anggota keluarga ada yang kecelakaan dan seorang ibu yang mempunyai anak baru, sehingga anak pertama merasa kurang diperhatikan karena kasih sayang ibunya terbagi.
3.Mempunyai permasalahan di sekolah.
Misalnya bertengkar dengan teman sekelas dan diolok-olok teman karena nilai ulangannya jelek.
4.Sedang sakit, sehingga segala sesuatu yang dikerjakan merasa tidak senang.
5.Sedang sedih karena kehilangan sesuatu yang paling disayang.
Misalnya seorang anak mempunyai kucing kesayangan kemudian kucing itu tertabrak motor dan langsung mati di hadapan anak itu, anak tersebut merasa kehilangan sekali karena kucing kesayangannya tidak menemaninya lagi.
Menurut Rama (2007: 25), bahwa malas diartikan sebagai keengganan seseorang untuk melakukan sesuatu yang seharusnya atau sebaiknya dia lakukan. Masuk dalam keluarga besar malas adalah menolak tugas, tidak disiplin, tidak tekun, sungkan, suka menunda sesuatu, mengalihkan diri dari kewajiban.
Kalau anak-anak lebih suka bermain daripada belajar, itu berarti mereka menganggap bahwa belajar tidak penting, kegiatan yang tidak menarik yang hanya menghabiskan waktu untuk berpikir saja, dan mungkin tanpa mereka sadari bahwa belajar dianggap sebagai kegiatan yang tidak ada gunanya karena mereka tidak mendapatkan langsung hasil kegiatan belajar. Berbeda dengan bermain yang jelas-jelas menyenangkan anak karena keuntungannya dapat dirasakan secara langsung, yaitu rasa senang. Contohnya saja ketika anak dituntut untuk mengerjakan 3 butir soal matematika mereka merasa tidak mampu untuk mengerjakannya padahal soal yang diberikan cukup mudah. Berbeda saat anak disuruh untuk bermain ketika orangtuanya sibuk bekerja mereka merasa senang karena mereka tidak mempunyai beban.
Oleh karena itu, sebagai orangtua kita harus membiasakan diri kepada anak untuk selalu berlatih baik dalam bidang akademik maupun nonakademik dan jangan sampai membiasakan anak untuk bermain bersama teman-temannya, sehingga lupa waktu untuk belajar. Maka latihlah anak sedini mungkin agar kelak setelah anak menjadi dewasa, anak akan selalu terus semangat untuk belajar. Karena dengan belajar, kita akan menjadi manusia yang pintar, cerdas, berpotensi, tidak dibodoh-bodohi orang lain sehingga orang-orang akan senang terhadap kita dan dengan belajar kita bisa menumbuh kembangkan potensi yang dimiliki.
Referensi
Anak Malas Belajar. Online. Tersedia: http://www.facebook.com. 28 Oktober 2009.
Malas Musuh Kita. [Online]. Tersedia: http://www.koran.seveners.com. [28 Oktober 2009]
Syah, Muhibbin. 2000. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar