Winda Marlina Juwita
0903997 PGSD 1B
Rasa miris akan timbul sendiri di jiwa juga benak para orang tua dan guru sebagai pendidik, ketika melihat dan menyaksikan tayangan-tayangan dari media audio-visual atau “si kotak ajaib“ yang dalam bahasa kampungnya “tipi“. Televisi, makin digandrungi masyarakat, para manula, dewasa, remaja, anak-anak bahkan balita dan batita. Yang membuat semakin miris ketika tayangan berlabelkan “R“ atau “D“ pada pojok kiri televisi saat tayangan televisi berlangsung justru malah ditonton oleh anak-anak yang notabene statusnya dalam televisi adalah “BO“. Lalu, apakah ini kesalahan stasiun televisi? Ketika saya masih berusia 7 tahun dan duduk di bangku sekolah dasar, orang tua saya hanya ‘menyuguhkan’ TVRI untuk saya konsumsi. Setelah diingat lebih dalam, acara-acaranya memang bermutu dan beberapa acara ‘asli’ untuk anak-anak, walaupun tetap saja ada acara untuk remaja dan dewasa, tetapi tetap saja saya tidak memiliki ketertarikan akan itu. Jadi kembali lagi, siapa yang patut disalahkan akan kegilaan anak-anak SD dalam mengonsumsi ‘tipi‘ tersebut ?
Mengapa harus televisi ?
Televisi saat ini bukan menjadi barang yang mewah, bagi masyarakat Indonesia di seluruh pelosok negeri, siapa pun bisa memelototi televisi, si kotak ajab ini tidak pandang bulu terhadap para mangsanya. Tetapi, tidak bisa dibayangkan jika yang ditonton itu bukan acara yang bermutu, apalagi yang menontonnya itu anak-anak Sekolah Sadar yang jelas-jelas masih dalam tahap cepat merekam informasi.
Buktinya saja, kini anak-anak Sekolah Dasar sudah hafal lagu-lagu cinta melankonis miliknya para remaja yang sedang kasmaran, lengkap tiap baitnya atau bahkan hafal sederetan nama-nama artis lengkap dengan gossip yang menempel pada artis tersebut. Bagaimana tidak ? Indonesia iu sehari bisa menayangkan lebih dari lima kali acara infotainment yang menyuguhkan gosip menikahnya, bercerainya, putusnya, dan sederet kegiatan tidak begitu penting para artis.
Sarlito Wirawan Sarwono memaparkan di sela-sela konferensi pers tentang Vision 3 Baby, saluran baru televisi berlangganan Indovision,
“Televisi itu controversial jika dikaitkan dengan anak. Televisi dipercaya member pengaruh buruk bagi anak kecil. Banyak orang mengeluh soal televisi. Tetapi, televisi walau jelek juga tetap ditonton. Ini kenyataan yang tidak terhindarkan“. ( 2006 )
Memang benar suka atau tidak suka, tontonan tetap menembus dinding dan pintu rumah kita yaitu lewat televisi !
Kini di Indonesia yang sedang marak ialah acara musik, acara seperti itu seolah ‘ga ada matinye‘ memenuhi tayangan-tayangan televisi, berbagai aliran music ditampilkan, dan jarang sekali ada tayangan musik untuk anak, bahkan reality show yang menampilkan anak-anak SD sebagai pesertanya, pun membawakan lagu cinta konsumsi remaja bahkan dewasa lengkap dengan penjiwaan yang sangat dalam untuk ukuran mereka.
Akan seperti apa negeri ini jika para penerus bangsanya secara missal dibodohi oleh tayangan-tayangan yang tidak bermutu. Saya tidak bermaksud mengesampingkan para kaum terpelajar, yang juga mengonsumsi televisi, saya percaya bahwa mereka mampu memilah mana yang baik dan tidak baik. Sedangkan bagi penerus bangsa generasi berikutnya (anak-anak SD) mereka belum masuk dalam tahap evaluasi untuk mampu memilah konsumsi yang akan mereka lahap mentah-mentah.
Dr. Awadh Manshur (1961) dalam Remaja Doyan Nonton. Why Not ? (2004 : 18) menyatakan, “ Menonton televisi adalah kegiatan mubazir yang membuat orang melupakan tugas hidupnya selama berjam-jam”. Pernyataan tersebut tak ada salahnya, karena manfaat menonton televisi lebih sedikit dibanding mudaratnya. Tapi, apakah kita sebagai orang tua dan pendidik mampu mengambil manfaat yang sedikit itu sebagai cara efektif yang dicontohkan pada anak-anak?
Pembatasan Waktu
Orang tua merupakan front-man bagi anak saat menonton tayangan televisi. Orang tua yang bekerja biasanya memanjakan anak dengan teknologi untuk mengatasi rasa bersalah karena tidak memiliki waktu yang cukup untuk menemani anak-anaknya. Beruntung ada beberapa channel khusus untuk anak, tetapi orang tua tetap saja tidak bisa mengontrol selama merek berada di luar rumah. Apalagi, jika para orang tua senang menikmati acara-acara seperti sinetron atau bahkan telenovela, anak pun jika ditinggal orang tuanya, tontonannya tidak akan jauh dari itu. Walaupun beberapa orang tua menengah ke atas memberikan separuh tanggung jawabnya kepada baby sitter atau pembantu, tapi tetap saja tanggung jawab sepenuhnya milik orang tua.
Yang harus ditekankan disini adalah waktu anak dalam mengonsumsi televisi.
Bobi Guntarto (1970) dalam, www.news.id.finfall.com (2006) menyatakan, “Sepuluh menit sudah cukup untuk anak menonton televisi“. Televisi akan memberikan pengaruh positif jika dibatasi waktunya, ada waktu maksimumnya. Selain itu, menonton televisi, dalam waktu yang cukup lama ( apalagi VCD ) akan memeberikan dampak yang buruk bagi kesehatan anak, terutama kesehatan mata jarak minimal antara mata dan televisi adalah sepuluh ukuran kali layar televisi, jika tidak diperhatikan mata anak akan menjadi minus. Maka, sekali lagi ini adalah tanggung jawab orang tua.
Memilah yang terbaik
Salah satu contoh film kartun di televisi yag disenangi anak-anak adalah Tom and Jerry, sebagai kalangan yang dudah mampu mengevaluasi, mungkin tayangan tersebut adalah suatu hiburan, tapi bentuk film seri ini adalah kartun, yang notabene dihadirkan untuk anak-anak. Tapi, layakkah film kartun ini dikonsumsi anak-anak? Jika diteliti, film ini cukup rebtan akan bahaya, contohnya ketika Tom si kucing dan Jerry si tikus sedang pukul-pukulan dan apabila salah satu anggota tubuhnya rusak, bisa kembali seperti semula,anak-anak yang belummemasuki tahap evaluasi bisa saja meniru adegan berbahaya ini.
Pendampingan orang tua sangat dibutuhkan, orang tua yang harus memfilter acara apa saja yang dapat dikonsumsi oleh anaknya. Orang tua berperan penting saat anak berada diluar jam sekolah ( apalagi, waktu anak-anak berada dirumah ), terutama anak yang hanya ditemani baby sitter yang asyik sendiri mengunyah sinetron, sementara orang tua sibuk bekerja.
Orang tua harus mempercayakan pengasuhan anaknya kepada orang yang diyakini mampu mengasuh anaknya, selain itu orang tua juga yang memberikan tontonan yang hanya boleh dikonsumsi untuk anak. Contohnya film “Garuda di Dadaku“ yang sarat akan unsur pendidikan, juga mengandung nilai persahabatan, kekeluargaan, pengorbanan serta kasih sayang yang tidak dapat diukur dengan materi. Film lainnya yang serupa adalah “King“ dan “Laskar Pelangi“. Film tersebut dapat dikonsumsi anak sebagai rekreasi saat liburan, tentunya tetap dengan pendampingan orang tua.
Orang tua, Orang tua, dan Orang tua
Penekanan terhadap pentingnya peran orang tua sudah tidak dapat dipungkiri. Orang tua harus sudah mampu mengapresiasi tontonan yang dikonsumsi anaknya.
Marselli (1972) menyatakan,
Guna apresiasi film :
1. Memperoleh manfaat yang maksimal dari pertunjukan film
2. Dapat menghargai film yang baik dan mengesampingkan film yang buruk
3. Dapat menjaga diri daripengaruh-pengaruh negative yang mungkin timbul dari film (dalam Remaja doyan nonton? Why Not ? (2004 : 77 ))
Dengan apresiasi, orang tua dapat mahir melakukan pilihan-pilihan dari tontonan film yang telahmenjadi bagian dari lingkungan kehidupan anak-anak.
Ekky Al-Malaky (1973) mengungkapkan,
“ Film adalah cerita yang yang terkadang tidak semuanya hitam atau putih. Yang benar selalu menang dan yang jahat pasti kalah. Terkadang, karakter yang tidak jelas apakah ia menjadi jagoan atau penjahat, justru semakin mengasyikan jalan ceritanya “. (dalam Remaja doyan nonton? Why Not ? (2004 : 80)
Jelas sekali, tinggal tugas para orang tua yang mengais dan menyelami makna atau hikmah dari apa yang tersmbunyi dalam film tersebut untuk diberitahukan pada anak.
Beberapa upaya yang mungkin bisa dijadikan saran untuk para orang tua :
1. Menghindari peletakan televisi di kamar anak, karena dengan adanya televisi di kamar, akan menjadikan anak terbiasa dengan kehadiran televisi
2. Jika mau membatasi waktu menonton, harus seketat mungkin dan konsekuen, untuk anak SD waktu menontonnya sepuluh menit dan maksimalnya kurang dari atau sama dengan setengah jam per-sesi nya.
3. Orang tua menemani anak saat menonton dan memilihkan saluran yang tepat meskipun sulit ditemui. Bahkan saat iklan pun anak wajib mendapa penjelasan dari orang tuanya.
4. Televisi bukan alat pengganti pengasuh bayi. Jadi, jika anak sedang rewel, sebaiknya jangan dibibur dengan televisi, cari kegiatan yang lebih bermanfaat.
5. Sisihkan waktu di akhir minggu untuk anak, agar anak tidak menghabiskan waktunya pada televisi, tidak perlu ke Mall, cukup dengan olahraga pagi, Ayah juga harus ikut, jangan hanya duduk membaca Koran saat liburan. Agar kekeluagaan semakin terjaga.
6. Anak-anak jangan diberi tontonan yang agresif, yang memicu anak untuk mencontoh, seperti kartun Tom and Jerry tidak dianjurkan, selain anak-anak belum bisa menangkap humornya denga tepat, anak akan mudah meniru adegan di dalamnya.
Jadi, semua ini merupakan tanggung jawab orang tua, tapi bukan berarti anak dilarang untuk menonton, solusinya orang tua lah yang harus menjadi pendamping yang cerdas.
REFERENSI
AL-Malaky, Ekky.2006.Remajad Doyan Nonton, Why Not ?. Bandung : Dar! Mizan.
Ivvaty, S. 2006. “ Menakar Waktu Batita Menonton Televisi “. [ online ] Tersedia : http : // www.kompas.com/ver1/kesehatan/0607/17/034314.html. [ 25 Oktober 2009 ]
Hanafi, Imam : 2008. “ Berlibur dengan Tontonan yang ‘ menuntun’ “ [ online ] Tersedia : http : // www.news.id.finroll.com [ 25 Oktober 2009 ]
Mengapa harus televisi ?
Televisi saat ini bukan menjadi barang yang mewah, bagi masyarakat Indonesia di seluruh pelosok negeri, siapa pun bisa memelototi televisi, si kotak ajab ini tidak pandang bulu terhadap para mangsanya. Tetapi, tidak bisa dibayangkan jika yang ditonton itu bukan acara yang bermutu, apalagi yang menontonnya itu anak-anak Sekolah Sadar yang jelas-jelas masih dalam tahap cepat merekam informasi.
Buktinya saja, kini anak-anak Sekolah Dasar sudah hafal lagu-lagu cinta melankonis miliknya para remaja yang sedang kasmaran, lengkap tiap baitnya atau bahkan hafal sederetan nama-nama artis lengkap dengan gossip yang menempel pada artis tersebut. Bagaimana tidak ? Indonesia iu sehari bisa menayangkan lebih dari lima kali acara infotainment yang menyuguhkan gosip menikahnya, bercerainya, putusnya, dan sederet kegiatan tidak begitu penting para artis.
Sarlito Wirawan Sarwono memaparkan di sela-sela konferensi pers tentang Vision 3 Baby, saluran baru televisi berlangganan Indovision,
“Televisi itu controversial jika dikaitkan dengan anak. Televisi dipercaya member pengaruh buruk bagi anak kecil. Banyak orang mengeluh soal televisi. Tetapi, televisi walau jelek juga tetap ditonton. Ini kenyataan yang tidak terhindarkan“. ( 2006 )
Memang benar suka atau tidak suka, tontonan tetap menembus dinding dan pintu rumah kita yaitu lewat televisi !
Kini di Indonesia yang sedang marak ialah acara musik, acara seperti itu seolah ‘ga ada matinye‘ memenuhi tayangan-tayangan televisi, berbagai aliran music ditampilkan, dan jarang sekali ada tayangan musik untuk anak, bahkan reality show yang menampilkan anak-anak SD sebagai pesertanya, pun membawakan lagu cinta konsumsi remaja bahkan dewasa lengkap dengan penjiwaan yang sangat dalam untuk ukuran mereka.
Akan seperti apa negeri ini jika para penerus bangsanya secara missal dibodohi oleh tayangan-tayangan yang tidak bermutu. Saya tidak bermaksud mengesampingkan para kaum terpelajar, yang juga mengonsumsi televisi, saya percaya bahwa mereka mampu memilah mana yang baik dan tidak baik. Sedangkan bagi penerus bangsa generasi berikutnya (anak-anak SD) mereka belum masuk dalam tahap evaluasi untuk mampu memilah konsumsi yang akan mereka lahap mentah-mentah.
Dr. Awadh Manshur (1961) dalam Remaja Doyan Nonton. Why Not ? (2004 : 18) menyatakan, “ Menonton televisi adalah kegiatan mubazir yang membuat orang melupakan tugas hidupnya selama berjam-jam”. Pernyataan tersebut tak ada salahnya, karena manfaat menonton televisi lebih sedikit dibanding mudaratnya. Tapi, apakah kita sebagai orang tua dan pendidik mampu mengambil manfaat yang sedikit itu sebagai cara efektif yang dicontohkan pada anak-anak?
Pembatasan Waktu
Orang tua merupakan front-man bagi anak saat menonton tayangan televisi. Orang tua yang bekerja biasanya memanjakan anak dengan teknologi untuk mengatasi rasa bersalah karena tidak memiliki waktu yang cukup untuk menemani anak-anaknya. Beruntung ada beberapa channel khusus untuk anak, tetapi orang tua tetap saja tidak bisa mengontrol selama merek berada di luar rumah. Apalagi, jika para orang tua senang menikmati acara-acara seperti sinetron atau bahkan telenovela, anak pun jika ditinggal orang tuanya, tontonannya tidak akan jauh dari itu. Walaupun beberapa orang tua menengah ke atas memberikan separuh tanggung jawabnya kepada baby sitter atau pembantu, tapi tetap saja tanggung jawab sepenuhnya milik orang tua.
Yang harus ditekankan disini adalah waktu anak dalam mengonsumsi televisi.
Bobi Guntarto (1970) dalam, www.news.id.finfall.com (2006) menyatakan, “Sepuluh menit sudah cukup untuk anak menonton televisi“. Televisi akan memberikan pengaruh positif jika dibatasi waktunya, ada waktu maksimumnya. Selain itu, menonton televisi, dalam waktu yang cukup lama ( apalagi VCD ) akan memeberikan dampak yang buruk bagi kesehatan anak, terutama kesehatan mata jarak minimal antara mata dan televisi adalah sepuluh ukuran kali layar televisi, jika tidak diperhatikan mata anak akan menjadi minus. Maka, sekali lagi ini adalah tanggung jawab orang tua.
Memilah yang terbaik
Salah satu contoh film kartun di televisi yag disenangi anak-anak adalah Tom and Jerry, sebagai kalangan yang dudah mampu mengevaluasi, mungkin tayangan tersebut adalah suatu hiburan, tapi bentuk film seri ini adalah kartun, yang notabene dihadirkan untuk anak-anak. Tapi, layakkah film kartun ini dikonsumsi anak-anak? Jika diteliti, film ini cukup rebtan akan bahaya, contohnya ketika Tom si kucing dan Jerry si tikus sedang pukul-pukulan dan apabila salah satu anggota tubuhnya rusak, bisa kembali seperti semula,anak-anak yang belummemasuki tahap evaluasi bisa saja meniru adegan berbahaya ini.
Pendampingan orang tua sangat dibutuhkan, orang tua yang harus memfilter acara apa saja yang dapat dikonsumsi oleh anaknya. Orang tua berperan penting saat anak berada diluar jam sekolah ( apalagi, waktu anak-anak berada dirumah ), terutama anak yang hanya ditemani baby sitter yang asyik sendiri mengunyah sinetron, sementara orang tua sibuk bekerja.
Orang tua harus mempercayakan pengasuhan anaknya kepada orang yang diyakini mampu mengasuh anaknya, selain itu orang tua juga yang memberikan tontonan yang hanya boleh dikonsumsi untuk anak. Contohnya film “Garuda di Dadaku“ yang sarat akan unsur pendidikan, juga mengandung nilai persahabatan, kekeluargaan, pengorbanan serta kasih sayang yang tidak dapat diukur dengan materi. Film lainnya yang serupa adalah “King“ dan “Laskar Pelangi“. Film tersebut dapat dikonsumsi anak sebagai rekreasi saat liburan, tentunya tetap dengan pendampingan orang tua.
Orang tua, Orang tua, dan Orang tua
Penekanan terhadap pentingnya peran orang tua sudah tidak dapat dipungkiri. Orang tua harus sudah mampu mengapresiasi tontonan yang dikonsumsi anaknya.
Marselli (1972) menyatakan,
Guna apresiasi film :
1. Memperoleh manfaat yang maksimal dari pertunjukan film
2. Dapat menghargai film yang baik dan mengesampingkan film yang buruk
3. Dapat menjaga diri daripengaruh-pengaruh negative yang mungkin timbul dari film (dalam Remaja doyan nonton? Why Not ? (2004 : 77 ))
Dengan apresiasi, orang tua dapat mahir melakukan pilihan-pilihan dari tontonan film yang telahmenjadi bagian dari lingkungan kehidupan anak-anak.
Ekky Al-Malaky (1973) mengungkapkan,
“ Film adalah cerita yang yang terkadang tidak semuanya hitam atau putih. Yang benar selalu menang dan yang jahat pasti kalah. Terkadang, karakter yang tidak jelas apakah ia menjadi jagoan atau penjahat, justru semakin mengasyikan jalan ceritanya “. (dalam Remaja doyan nonton? Why Not ? (2004 : 80)
Jelas sekali, tinggal tugas para orang tua yang mengais dan menyelami makna atau hikmah dari apa yang tersmbunyi dalam film tersebut untuk diberitahukan pada anak.
Beberapa upaya yang mungkin bisa dijadikan saran untuk para orang tua :
1. Menghindari peletakan televisi di kamar anak, karena dengan adanya televisi di kamar, akan menjadikan anak terbiasa dengan kehadiran televisi
2. Jika mau membatasi waktu menonton, harus seketat mungkin dan konsekuen, untuk anak SD waktu menontonnya sepuluh menit dan maksimalnya kurang dari atau sama dengan setengah jam per-sesi nya.
3. Orang tua menemani anak saat menonton dan memilihkan saluran yang tepat meskipun sulit ditemui. Bahkan saat iklan pun anak wajib mendapa penjelasan dari orang tuanya.
4. Televisi bukan alat pengganti pengasuh bayi. Jadi, jika anak sedang rewel, sebaiknya jangan dibibur dengan televisi, cari kegiatan yang lebih bermanfaat.
5. Sisihkan waktu di akhir minggu untuk anak, agar anak tidak menghabiskan waktunya pada televisi, tidak perlu ke Mall, cukup dengan olahraga pagi, Ayah juga harus ikut, jangan hanya duduk membaca Koran saat liburan. Agar kekeluagaan semakin terjaga.
6. Anak-anak jangan diberi tontonan yang agresif, yang memicu anak untuk mencontoh, seperti kartun Tom and Jerry tidak dianjurkan, selain anak-anak belum bisa menangkap humornya denga tepat, anak akan mudah meniru adegan di dalamnya.
Jadi, semua ini merupakan tanggung jawab orang tua, tapi bukan berarti anak dilarang untuk menonton, solusinya orang tua lah yang harus menjadi pendamping yang cerdas.
REFERENSI
AL-Malaky, Ekky.2006.Remajad Doyan Nonton, Why Not ?. Bandung : Dar! Mizan.
Ivvaty, S. 2006. “ Menakar Waktu Batita Menonton Televisi “. [ online ] Tersedia : http : // www.kompas.com/ver1/kesehatan/0607/17/034314.html. [ 25 Oktober 2009 ]
Hanafi, Imam : 2008. “ Berlibur dengan Tontonan yang ‘ menuntun’ “ [ online ] Tersedia : http : // www.news.id.finroll.com [ 25 Oktober 2009 ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar